Dalam sebuah hadis yang sangat terkenal, Rasulullah bersabda: “Jika datang
kepada kalian (hai calon mertua) orang yang kalian sukai (ketaatan) agamanya
dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu). Sebab, jika kamu sekalian
tidak melakukannya, akan lahir fitnah (bencana) dan akan berkembang kehancuran
yang besar di muka bumi.”
Kemudian ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana
jika orang (pemuda) itu mempunyai (cacat atau kekurangan-kekurangan)?”
Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
(mengulangnya tiga kali)
“Jika datang kepada kalian orang yang bagus agama dan
akhlaknya, maka
nikahkanlah dia (dengan putrimu)!” (HR Imam Tirmidzi dari
Abu Hatim Al-
Mazni).
Pada hadis ini --sampai-sampai Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengulang jawaban tiga kali-- seorang ayah diperingatkan agar
memperhatikan orang yang beragama dan berakhlak bagus. Akhlak yang bagus adalah
sebagian tanda-tanda bagusnya agama seseorang. Tanda ini lebih kuat daripada
tanda lainnya, misal pengetahuan agama dan lingkungan. Dua hal yang disebut
terakhir ini menjadi pertimbangan pendukung mengenai agama dan akhlak orang
yang berniat menjadi suami putri Anda.
Seorang ayah bisa mencari pengetahuan mengenai laki-laki
yang meminang anak
gadisnya dengan seksama sebelum mengambil keputusan. Antara
lain, ia dapat
menanyai orang yang dekat dengan calon menantunya. Ia juga
bisa menanyakan
kepada orang-orang yang dapat dipercaya (tsiqah).
Sebelum membicarakan masalah lain, marilah kita renungkan
peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
“Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena silau akan kekayaan laki-laki
itu meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak pernah pernikahan itu akan
dibarakahi-Nya.”
Meminta Izin Anak
Pernikahan berkaitan langsung dengan perasaan anak gadis yang
insya-Allah akan mendampingi suaminya seumur hidup. Dialah nanti yang akan
merasakan manis-indahnya pernikahan ataupun pahit-getirnya perpisahan, kalau
ternyata cinta tak bisa tumbuh juga. Oleh karena itu, seorang ayah perlu
meminta izin kepada anak gadisnya sebelum menikahkan. Islam menolak pemaksaan
orangtua atas anak gadis agar mau menikah dengan laki-laki pilihan orangtua,
sedang ia sendiri tidak menyukai. Pemaksaan dapat menjerumuskan anak kepada
dosa besar. Minimal dosa karena tidak taat pada suami, termasuk dalam melayani
keinginan suami di tempat tidur, karena tidak ada kehangatan cinta di hatinya.
Padahal, penolakan istri untuk melakukan hubungan intim termasuk perkara yang
sangat dilaknat oleh agama.
Dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang hamba sahaya yang masih
gadis datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia
melaporkan bahwa dia dikawinkan oleh ayahnya, padahal dia tidak suka terhadap
laki-laki pilihan ayahnya itu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan pilihan terhadapnya. Demikian hadis shahih yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Adz-Dzaruquthni.
Dan dari ‘Aisyah, bahwa ada seorang remaja putri dikawinkan
dengan seorang laki-laki kemudian dia berkata, “Sesungguhnya ayah telah
mengawinkanku dengan anak saudaranya agar kehinaannya dapat terangkat karena
aku. Sedangkan aku tidak
menyukainya.”
Kemudian ‘Aisyah berkata, “Duduklah”, sehingga Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam datang. Lalu aku mengabarkannya. Kemudian Rasulullah
mengutus seseorang kepada ayahnya untuk mengundangnya ke rumah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah menyerahkan perkara itu
terhadap sang gadis tersebut. Lalu gadis itu berkata, “Ya Rasulullah,
sebenarnya aku telah rela terhadap apa yang telah diperbuat ayahku terhadapku,
akan tetapi aku berkeinginan untuk
memberitahukan kepada wanita-wanita tentang sesuatu dalam
masalah ini.” (HR
An-Nasa’i).
Maka, sebelum memberi jawaban kepada peminang, tanyakanlah
kepada anak gadis Anda. Rasulullah Saw. bersabda, “Tidaklah seorang janda
dikawinkan, sehingga dia dimintai persetujuannya dan tidak pula seorang gadis
hingga dia dimintai persetujuannya.”
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimanakah
persetujuannya?”
Rasulullah menjawab, “Persetujuannya adalah pada saat dia
diam.” (HR Bukhari dan Muslim).
Al-Bukhari dan Muslim juga pernah meriwayatkan dari ‘Aisyah,
dia berkata,
“Ya Rasulullah, apakah wanita-wanita harus dimintai
persetujuannya jika mereka
akan dikawinkan?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Ya”.
Aku bertanya lagi, “Sesungguhnya seorang gadis jika dimintai
persetujuannya, kemudian dia diam, karena malu?” Rasulullah bersabda:
“Diamnya itu adalah persetujuannya.” (HR Bukhari dan
Muslim).
Syaikh Yusuf Qardhawi mengingatkan, seorang gadis
kadang-kadang merasa malu untuk menjelaskan tentang persetujuannya itu dan dia
juga malu untuk menampakkan bahwa dia sudah berkeinginan untuk melangsungkan
perkawinan.
Sedangkan diamnya itu menunjukkan kebersihannya dari segala
penyakit yang dapat mencegahnya dari hubungan seksual, atau adanya sebab lain
yang tidak baik untuk melangsungkan pernikahan dengan laki-laki itu, di mana
sebab-sebab itu tidak ada
seorang pun yang mengetahuinya, kecuali dia sendiri. Wallahu
A’lam. Demikian kutipan saya dari Ruang Lingkup Aktifitas Wanita Muslimah
(Al-Kautsar, 1996).
Selain meminta izinnya, berikanlah kesempatan kepadanya
untuk mengetahui siapa calon suaminya, terutama jika calon suami itu pilihan
Anda sedang anak gadis Anda belum mengenalnya. Biarkanlah anak gadis Anda untuk
menilai sendiri calon suaminya, apakah ia menyukai atau tidak. Anda bisa
memberikan informasi, memberi
keterangan seperlunya tentang si calon. Tetapi sebaiknya
tidak banyak mempersuasi
(membujuk) dengan menampakkan yang baik-baik saja. Sebab
persuasi dapat menimbulkan harapan-harapan yang akan ia peroleh ketika akad
nikah telah dilaksanakan. Sehingga bisa jadi ia mengalami kekecewaan justru
karena terlalu tingginya harapan yang muncul lantaran persuasi Anda. Padahal,
pada mulanya ia tak banyak mengharapkan hal-hal yang tidak mendasar.
Sebagian gadis menikah dengan orang yang belum pernah
dikenalnya sama sekali dan baru melihat laki-laki yang menikahinya ketika akad
nikah telah selesai, yaitu saat pertama kali memasuki kamar pengantin. Mereka
ridha dengan suaminya.
Tetapi ini tidak berlaku umum. Sehingga Anda tidak bisa
mengambilnya sebagai hukum yang Anda terapkan begitu saja kepada anak gadis
Anda. Anda perlu bersikap
tengah-tengah dan memahami kebutuhan anak gadis Anda,
kecuali jika dia telah idha
dengan pilihan Anda tanpa mensyaratkan apa pun mengenai
laki-laki yang akan menjadi suaminya.
mSeorang gadis yang tidak diberi kesempatan untuk mengetahui
dan empertimbangkan calon suaminya, berhak untuk memutuskan hubungan perkawinan
apabila ia tidak rela terhadap suami pilihan ayahnya. Kesempatan mengetahui ini
meliputi hal-hal yang berkenaan dengan segi lahiriah maupun segisegi yang lebih
bersifat psikis dan agama dari si calon suami.
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS Al-Baqarah:
229).
Kasus gagalnya perkawinan karena istri belum mengetahui
calon suaminya pernah terjadi di masa Rasulullah. Ketika menikah, Hadiqah tidak
pernah bertemu dengan Tsabit bin Qais kecuali pada malam pengantin mereka. Sang
istri sangat terkejut dengan suami yang dijumpainya pada malam pengantin itu
dan secara spontan timbul keinginan untuk berpisah.
Hadiqah berkata kepada Rasulullah, “Tampaklah apa yang tidak
saya ketahui pada malam pengantin kami. Saya pernah melihat beberapa orang
laki-laki, namun suami saya adalah laki-laki yang paling hitam kulitnya, pendek
tubuhnya, dan paling jelek wajahnya. Tidak ada satu kebagusan pun yang saya
temui pada dirinya. Saya tidak mengingkari kebagusan akhlaknya dan agamanya,
ya... Rasulullah, tetapi saya takut menjadi kafir jika tak bercerai darinya.
Saya takut jika terus-menerus maksiat padanya karena ketidaktaatan saya pada
suami, dan saya tahu itu menyalahi perintah
Allah Ta'ala.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Tsabit
dan berkata kepadanya, “Temui istrimu, Hadiqah dan ceraikan ia sebagaimana
layaknya, biarkan mahar itu menjadi haknya.”
Kisah Hadiqah dan Tsabit bin Qais ini juga disampaikan oleh
Imam Bukhari dalam shahihnya. Sesungguhnya, kata Ibnu Abbas, istri Tsabit bin
Qais telah menghadap kepada Nabi. Ia berkata, “Ya Rasulullah, saya tidak
mencela akhlak dan agamanya, tetapi saya tidak mau kufur dalam Islam."
Maka Rasulullah bersabda, “Maukah Anda mengembalikan kebun-kebunnya?”
Ia menjawab, “Ya.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
(kepada Tsabit), “Terimalah kebun itu, dan talaklah istrimu itu satu kali.”
0 komentar:
Posting Komentar