Kata Qurban berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata qa-ru-ba
( قَرُبَ ) artinya dekat. Ibadah
qurban adalah ibadah yang dilaksanakan pada waktu tertentu ya’ni pada hari Idul
Adha yang dilaksanakan dengan cara menyembelih hewan qurban dengan maksud untuk
mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam istilah fiqih hewan kurban disebut dengan istilah udh-hiyah
( أُضْحِيَّة ) yang artinya hewan
yang disembelih waktu dhuha, yaitu waktu saat matahari naik. Udh-hiyah adalah hewan
kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban dan hari-hari
tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah.
Dasar Pensyariatan Qurban
Di antar dalil al-Qur’an adalah surat al-Kautsar ayat 2:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berqurbanlah”.
Yang dimaksud dengan nahr adalah penyembelihan binatang qurban.
Kemudian surat al-Hajj ayat 36:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا
خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian
dari syi`ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah
olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah
terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan
beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak
meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan
unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.
Selanjutnya hadits yang menjelaskan masalah qurban sangat banyak
antara lain sebagai berikut:
Hadits Anas radhiyallahu ‘anhu berikut:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ
رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا (رواه البخارى)
"Dari Anas radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah berqurban dengan dua ekor kambing gibas yang bulunya
putih kehitaman keduanya, bertanduk keduanya, beliau menyembelih keduanya
dengan tangan beliau serta menyebut Asma Allah dan bertakbir dan meletakkan
kaki beliau di atas belikat keduanya”.
Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ
مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا
وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ
مِنَ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
“Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr
(Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah
(qurban), Sesungguhnya korbannya itu di hari kiamat akan datang menyertainya
dengan tanduk-tanduknya, bulunya dan kuku-kukunya. Dan darah qurban tersebut
akan menetes di suatu tempat (yang diridlai) Allah sebelum menetes ke bumi, maka
hendaknya kalian merasa senang karenanya.[ HR Hakim, Ibn Majah, dan al-Tirmidzi, al-Tirmidzi
menyebut hadits hasan Gharib]
Terdapat perbedaan dikalangan para ulama perihal hukum berkurban.
Mayoritas fuqaha menyatakan bahwa hukum qurban adalah sunnah muakkadah bagi mereka
yang mampu. Tetapi Imam Abu Hanifah menyatakan hukumnya wajib setiap tahun bagi
orang yang mampu dan berstatus mukim.[Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2703]
Dalil yang dijadikan dasar tentang tidak wajibnya qurban, adalah
hadits dari Ibnu Abbas berikut:
ثَلَاثٌ هُنَّ عَلَيَّ فَرَائِضُ وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ الْوَتْرُ وَالنَّحْرُ
وَصَلَاةُ الضُّحَى
“Ada tiga hal yang bagi kami adalah wajib sedangkan bagi
kalian sunnah, yaitu; shalat witir, berkurban dan shalat dluha”(HR Ahmad No. 1946)
Dan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha:
إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ يُرِيدُ أَنْ يُضَحِّيَ
فَلَا يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلَا يَقْلِمَنَّ ظُفُرًا
“Jika masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan ada padanya
binatang sembelihan serta berkeinginan untuk berqurban, maka hendaklah ia tidak
mencukur rambut dan tidak pula memotong kukunya.” (HR. Muslim)
Kata “berkeinginan untuk berqurban”, menunjukkan qurban tidak
wajib, sebab memungkinkan juga adanya orang yang tidak berkeinginan, padahal ia
mampu.
Sementara itu, dalil yang menjadi pegangan Madzhab Abu Hanifah
bahwa qurban hukumnya wajib adalah hadist Abu Hurairah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا (رواه
ابن ماجة)
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mempunyai
kelonggaran (harta), namun ia tidak melaksanakan qurban, maka janganlah ia
mendekatitempat shalat kami” (H.R. Ibnu Majah).
Di kalangan madzhab selain Hanafiyah, perkataan Nabi “fa laa
yaqrabanna musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami)
adalah suatu celaan, yaitu tidak layaknya seseorang -yang tak berqurban padahal
mampu– untuk mendekati tempat shalat Idul Adha. Namun hal ini bukan celaan yang
berat. Lagi pula, meninggalkan shalat Idul Adha tidaklah berdosa, sebab hukumnya
sunnah, tidak wajib. Maka, celaan tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram. [Taysir Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24]
Kemudian di dalam mazhab Syafi’i.[Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2705]
dinyatakan bahwa qurban hukumnya sunnah kifayah bagi sebuah keluarga besar, menjadi
tanggungan seluruh anggota keluarga untuk setiap tahun, yang kesunnahan tersebut
terpenuhi bila salah satu anggota keluarga telah melaksanakannya. Dalil dari mazhab
Syafi’i adalah:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ
أُضْحِيَّةً
“Hai sekalian manusia sesungguhnya diperintahkan atas
tiap-tiap keluarga untuk melaksanakan qurban setiap tahun” (HR Al-Tirmidzi)
Dalam mazhab Syafi’i juga dinyatakan bahwa qurban bagi setiap
individu adalah sunnah ‘ain (menjadi tanggungan individu) sekali dalam seumur hidup
didasarkan atas kaidah umum:
الاصل فى الامر لا يقتضى التكرار
“Asal dari perintah tidak menuntut adanya perulangan”
Selanjutnya qurban bisa dihukumi wajib menurut jumhur ulama dalam
keadaan dua hal;
1. Jika telah bernadzar untuk melakukan qurban, sebagaimana hadis
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ
فَلَا يَعْصِهِ
“Seseorang yang bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada
Allah, hendaklah ia melakukan ketaatan itu, dan jika ia bernadzar untuk
bermaksiat maka janganlah melakukan maksiat” (HR al-Bukhari)
Karena qurban merupakan sebuah amal yang baik, dan salah satu
bentuk ketaatan kepada Allah, maka para ulama’ sepakat apabila ada seorang muslim
bernadzar untuk berqurban, maka wajib baginya untuk berqurban, baik ia dalam keadaan
kaya atau miskin.
2. Jika telah berniat untuk melakukan qurban. Menurut Imam Malik,
seseorang yang membeli binatang dengan mengatakan, ini untuk qurban (hadzihi
udhiyatun) maka ia berkewajiban untuk melaksanakan niatnya itu.
Syarat Binatang Qurban
A. Jenis Binatang
Binatang yang dibolehkan untuk menjadi qurban adalah binatang
ternak seperti onta, sapi, dan kambing atau domba. Boleh berqurban dengan binatang
tersebut, baik jantan atau betina. Sebagian ulama membolehkan berqurban dengan kerbau
(jamus), karena diqiyaskan dengan sapi [Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2705].
Dalil ketentuan binatang ini adalah firman Allah surat al-Hajj ayat 34
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى
مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan
(qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah
dirizkikan Allah kepada mereka,
B. Usia Binatang
Adapun usia binatang untuk qurban tersebut ditentukan untuk kambing
adalah ketika sudah sempurna usia setahun dan memasuki tahun kedua, untuk sapi telah
sempurna usia dua tahun dan masuk tahun ketiga, sedangkan unta telah sempurna usia
lima tahun dan telah menginjak tahun keenam. Inilah yang disebut dengan
musinnah sebagaimana hadits berikut;
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ تَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً
مِنَ الضَّأْنِ
“Dari Jabir, berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah, akan tetapi
jika kalian merasa berat hendaklah menyembelih kambing Al-Jadza’ah. (HR. Ahmad).
Sedangkan yang dimaksud jadza’ah menurut pendapat jumhur ulama
adalah kambing atau domba yang berumur tepat setahun. Tetapi ada yang berpendapat
bahwa jadza’ah adalah anak kambing usia 6 bulan sampai satu tahun.
C. Kondisi Binatang Qurban
Kondisi binatang yang akan dibuat qurban hendaknya dipilihkan
yang baik. Tidak syah berkurban dengan hewan yang cacat yang jelas kecacatannya
seperti: kelihatan jelas penyakitan termasuk yang berpenyakit kudis, picik, pincang,
terlampai kurus, rusak telinganya sehingga kelihatan jelas, dan patah tanduknya.
Hal ini sebagaimana hadits Nabi:
أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الْأَضَاحِيِّ فَقَالَ الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ
عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ بَيِّنٌ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ بَيِّنٌ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرُ
الَّتِي لَا تَنْقَى
“Ada empat penyakit yang dengannya qurban tidak memadai; picik
yang nampak jelas, penyakitan yang nampak, yang pincang dan yang kurus tidak
berlemak sama sekali” (HR Al-Tirmidzi)
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُضَحَّى
بِأَعْضَبِ الْقَرْنِ وَالْأُذُنِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berqurban
dengan hewan yang rusak tanduknya dan telingannya. (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Tentang hewan yang dikebiri sejauh ini tidak ditemukan adanya
larangan, meskipun sebenarnya ada cacat, khususnya dalam reproduksi, namun cacat
dalam reproduksi ini tidak menyebabkan suatu binatang dilarang untuk dijadikan korban.
Demikian juga dengan hewan yang ekornya buntung, masih ditoleransi sebagaimana hadits
nabi:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ :اشْتَرَيْتُ أُضْحِيَّةً فَجَاءَ
الذِّئْبُ فَأَكَلَ مِنْ ذَنَبِهَا أَوْ أَكَلَ ذَنَبَهَا فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ضَحِّ بِهَا
“dari Abu Said al-Khudri beliau berkata: Saya telah membeli seekor
binatang qurban lalu ekornya atau sebagian ekornya dimakan serigala, maka aku tanyakan
hal ini pada Raulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab;
‘berqurbanlah dengannya” (HR Ahmad)
Patungan Qurban
Para fuqaha bersepakat bahwa seekor kambing berlaku untuk satu
orang. Sedangkan seekor unta atau sapi, boleh patungan untuk tujuh orang berdasarkan
hadits berikut:[Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2724]
عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِالْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
“Dari Jabir bin Abdillah, dia berkata: Kami telah berkurban
bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyyah seekor
onta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang.” (HR at-Tirmidzi)
Namun berdasarkan madzhab Ahmad bin Hanbal dan juga madzhab Maliki
seseorang dapat menyembelih seekor kambing, sapi, atau unta diniatkan untuk satu
keluarga.[ Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2725]
Hal ini berdasarkan hadits sebagai berikut:
عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ
كَيْفَ كَانَتِ الضَّحَايَا فِيكُمْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ ثُمَّ
تَبَاهَى النَّاسُ فَصَارَ كَمَا تَرَى
“Dari Atha’ bin Yasar dia berkata; aku bertanya pada Abu
Ayyub al-Anshari perihal praktik qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ia menjawab; Orang-orang di zaman nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berqurban dengan seekor kambing untuk keluarganya, mereka memakannya dan
memberikan pada orang lain sampai manusia merasa senang, maka jadilah mereka
seperti yang kalian lihat” (HR Ibnu Majah)
Saat ini ada tradisi di sekolah-sekolah, murid-murid iuran uang
lalu dibelikan kambing, hal ini belum dapat dikategorikan qurban, tapi baik-baik
saja bila dilihat dari sisi syi’ar Islam dan sekaligus untuk latihan qurban, dengan
catatan sembelihannya harus memenuhi syarat-syarat penyembelihan yang benar. Akan
lebih baik jika pihak sekolah menganjurkan kepada yang kaya untuk berqurban sendiri
disamping mengkoordinir yang lain untuk iuran dengan maksud syi’ar dan latihan.
Waktu Penyembelihan
Waktu penyembelihan qurban adalah sesudah shalat Idul Adha sampai
dengan akhir hari Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Qurban
tidak sah bila disembelih sebelum shalat Idul Adhha. Sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
مَنْ ضَحَّى قَبْلَ الصَّلَاةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ
بَعْدَ الصَّلَاةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ
“Barangsiapa menyembelih qurban sebelum shalat Idul Adh-ha
maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa
menyembelih qurban sesudah shalat Idul Adh-ha maka sesungguhnya ia telah
menyempurnakan ibadahnya (HR Muslim)
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ
“Semua hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah)
adalah waktu untuk menyembelih qurban.” (HR. Ahmad)
Menyembelih qurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari
Menyembelih pada malam hari hukumnya sah, kebanyakan ulama menghukumi makruh. Hal
ini karena penyembelihan di malam hari dikhawatirkan peyembelihannya kurang sempurna
karena penerangannya tidak mencukupi.[Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2715]
Tata Cara Penyembelihan
Secara umum penyembelihan hewan qurban mengikuti tatacara penyembelihan
hewan lainnya. Adapun ketentuan yang berkaitan dengan penyembelihan menurut syariat
Islam antara lain:
Pertama, Penyembelih adalah seorang muslim berakal sehat
atau sudah tamyis, memahami ketentuan penyembelihan.
Orang gila, orang yang mabuk atau anak-anak yang belum bisa membedakan
baik buruk (belum tamyis) sembelihannya tidak syah. Demikian juga sembelihan orang
kafir. Sedang sembelihan orang perempuan menurut madzhab Maliki adalah makruh. Penyembelih
juga harus memahami ketentuan penyembelihan. Orang yang tidak memahami tatacara
penyembelihan mengkhawatirkan penyembelihannya tidak syah.
Kedua, alat yang digunakan menyembelih harus tajam, sehingga
memungkinkan mengalirkan darah dan terputusnya tenggorokan.
Penyembelihan harus dilakukan dengan cepat dengan menggunakan
pisau yang tajam. Makruh hukumnya menyembelih dengan alat yang kurang tajam sehingga
menyakiti hewan.
اَمْرِ الدَمَّ بِمَا شِئْتَ وَاذْكُر اسمَ اللهِ عَلَيهِ ( رواه ابو داود)
“Alirkan darah dengan apa saja yang kau bisa lakukan dan
sebutlah nama Allah atasnya”. (H.R. Abu Dawud)
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ
فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ
شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ (روه المسلم)
“Sesungguhnya Allah wewajibkan ihsan (berbuat baik) terhadap
segala sesuatu. Apabila kamu membunuh, maka lakukanlah dengan baik Dan apabila
kamu menyembelih maka lakukanlah dengan baik. Dan hendaklah seorang dari kamu,
menajamkan pisaunya dan hendaklah ia menyenangkan hewan sembelihannya”.(H.R. Muslim)
Tidak boleh memotong menggunakan kuku dan gigi.
روي عن الرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنّهُ قِيلَ
لَهُ اَنَذْبَحُ بالمِرْوَة وشِقَّة العَصَا؟ فقال صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
أَعْجِلْ أَوْ أَرْنِي مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ فَكُلْ لَيْسَ
السِّنَّ وَالظُّفُرَ
“Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwasanya beliau pernah ditanya: ‘Apakah kami boleh menyembelih dengan marwah
(sejenis batu berkilat) dan dengan belahan tongkat?’ Rasulullah menjawab:
‘Percepatlah. Selama darah mengalir dan disebut nama Allah padanya, makanlah.
Bukan dengan gigi dan kuku”.
Ketiga, memotong tenggorokan atau bagian leher dibawah
pangkal kepala sehingga terputusnya tiga saluran: saluran nafas, jalan darah
dan jalan makanan.
Tidak syah menyembelih hanya dengan melukai bagian luar dengan
alat yang tidak tajam dan membiarkan hewan mati karena kehabisan darah. Demikian
juga tidak syah menyembelih dengan pelan-pelan sehingga diperkirakan hewan lebih
dulu mati sebelum sempurna penyembelihannya.
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَرِيطَةِ
الشَّيْطَانِ وَهِيَ الَّتِي تُذْبَحُ فَيُقْطَعُ الْجِلْدُ وَلَا تُفْرَى الْأَوْدَاجُ
ثُمَّ تُتْرَكُ حَتَّى تَمُوتَ ( رواه ابو داود)
“Rasulullah melarang pita setan, yaitu memyembelih dengan
cara memotong bagian kulit dan tidak memotong urat leher kemudian membiarkannya
sampai mati”. (HR. Abu Dawud)
Syarat memotong bagian leher tidak berlaku untuk hewan yang terperosok
bagian kepala ke sebuah lubang sehingga tidak memungkinkan melakukan penyembelihan
secara normal. Demikian juga hewan yang gagal disembelih dan lepas sehingga susah
dilakukan penyembelihan. Untuk hal-hal seperti ini diberlakukan seperti binatang
buruan.
إِنَّ لِهَذِهِ الْبَهَائِمِ أَوَابِدَ كَأَوَابِدِ الْوَحْشِ فَمَا فَعَلَ
مِنْهَا هَذَا فَافْعَلُوا بِهِ هَكَذَا (رواه البخارى ومسلم)
“Sesungguhnya binatang-binatang ini mempunyai potensi
menjadi garang sebagaimana yang dimiliki binatang liar. Karena itu jika ada
diantara hewan-hewan berperilaku seperti binatang liar ini, perlakukanlah dia
seperti ini” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat, menyembelih dengan menyebut Nama Allah.
Menurut Imam Malik semua sembelihan yang tidak menyebut nama
Allah adalah haram dimakan, demikian pula pendapat Ibnu Sirin dan golongan ahli
kalam. Abu Hanifah berpendapat, jika tidak disebut nama Allah karena disengaja maka
hukumnya haram, tetapi sekiranya lupa maka tetap halal, dengan syarat yang menyembelih
adalah orang yang memenuhi syarat menurut hukum. Hal ini didasari oleh firman Allah,
antara lain;
فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ بِآيَاتِهِ
مُؤْمِنِينَ
“Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama
Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya”. (Q.S. Al An’am
[6]:118)
Kelima, tidak menyebut nama selain Allah.
Syarat ini merupakan ijma’. Hal ini karena masyarakat jahiliyah
melakukan taqarrub kepada tuhan-tuhan dan berhala-berhala mereka dengan melakukan
penyembelihan atas namanya. Hal ini barangkali karena mereka menyembelih sebagai
pengorbanan untuk berhala-berhala mereka. Karena itu Allah berfirman:
….وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ …….. وَمَا
ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ…..
“Dan yang disembelih atas nama selain Allah …..serta yang
disembelih pada berhala-berhala” (Q.S. Al Ma’idah [5]: 3)
Keenam, hewan yang akan disembelih masih hidup.
Sebelum melakukan penyembelihan harus dipastikan bahwa hewan
yang akan disebelih masih hidup. Indikasi masih hidup dapat dilihat dari adanya
gerakan anggota tubuh atau gerakan nafas. Hal ini penting diperhatikan bagi
penyembelihan menggunakan cara pemingsanan. Karena apabila hewan telah mati maka
dihukumi bangkai dan penyembelihan yang dilakukan sudah tidak berguna lagi, artinya
daging dari hewan tersebut tetap haram.
Ketujuh, tidak mematahkan leher atau mengulitinya sebelum
hewan benar-benar mati.
لاَ تَجْعَلُوا الاَ نْفُسَ قَبْلَ اَنْ تُزْهَقَ
“Janganlah terburu menghabisi nyawa sebelum ia pergi
sendiri”. (HR. Ad Daruquthni)
Etika Penyembilihan Qurban
Orang yang hendak berqurban, tidak diperbolehkan memotong kuku
dan rambutnya sedikitpun (termasuk kumis, jenggot dan rambut yang lain), setelah
masuk tanggal 1 Dzulhijjah hingga selesai penyembelihan. Hal ini didasarkan atas
hadits berikut:
مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ
فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
“Barang siapa mempunyai binatang qurban dan akan
melaksanakan qurban maka ketika telah masuk tanggal pertama bulan Dzulhijjah
janganlah memotong rambutnya dan kukunya sampai saat selesai penyembelihan” (HR.
Muslim)
Berdasarkan hadits tersebut sebagian ulama madzhab Syafi’i menghukumi
haram dan Imam Syafi’i dan sebagain ulama Syafi’iyah yang lain menghukumi makruh
memotong rambut dan kuku. Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah menyatakan tidak
makruh. Dan sebaliknya madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali menghukumi perbuatan
tidak mencukur rambut dan memotong sebagai perbuatan sunnah [Syarah Muslim lin Nawawi Juz XIII/116, dan
Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2735]
1. Disunnahkan menyembelih sendiri bagi yang mampu menyembelih,
dan tidak boleh apabila penyembelihan dilakukan oleh selain muslim termasuk ahli
kitab.[Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2733]
2. Menghadap ke kiblat saat menyembelih demikian juga hewan sembelihannya.
Untuk itu, posisi hewan dirobohkan, lambung kiri ada di bawah, sedangkan posisi
kepala hewan ada disebelah kiri penyembelih.
3. Membaca basmalah dan takbir (Bismillahi Allaahu Akbar) kemudian
membaca do’a Allahumma hadza minka wa laka ‘anni fataqabbal (bila untuk menyembelih
milik orang lain ‘anni diganti an..nama orang..) hal ini didasarkan atas hadits
berikut:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عِيدٍ بِكَبْشَيْنِ فَقَالَ حِينَ وَجَّهَهُمَا إِنِّي
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا
مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ (رواه ابن ماجة)
“Dari Jabir bin Abdillah dia berkata; Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menyembelih qurban pada hari raya qurban berupa dua
ekor gibas tatkala beliau telah menghadapkan wajah beliau ke kedua kambing
tersebut beliau mengucapkan kalimat “inni wajjahtu.......”
Kemudian hadits berikut:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ
عَنْ مِنْبَرِهِ فَأُتِيَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ
لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي (رواه الترمذى)
“Dari Jabir bin Abdillah dia berkata; Aku bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam di mushalla untuk shalat idul adhha, maka tatkala beliau
selesai berkhutbah beliau turun dari mimbar dan menghampiri seekor kambing
gibas, kemudia beliau menyembelih sendiri dengan tangan beliau sambil berdoa;
bismillahi hadza anni wa amman lam yudlahha min ummati”
4. Jika tidak bisa menyembelih
sendiri hendaknya ikut mengadiri dan menyaksikan penyembelihannya.
Pemanfaatan Hasil Sembelihan
Bagi pemilik hewan qurban disunnahkan makan daging qurbannya,
menghadiahkan karib kerabatnya, bershadaqah pada fakir miskin, dan menyimpan sebagian
dari dagingnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا
“Makanlah, bershadaqahlah, dan simpanlah untuk perbekalan.” (HR.Bukhari
Muslim).
Dalam hal ini kebanyakan ulama termasuk madzhab Syafi’i menetapkan
bagian yang dikonsumsi sendiri adalah sepertiga bagian.
Dikecualikan dari hal di atas, qurban yang diniati nadzar, atau
telah diniati sebagai qurban dengan mengucapkan “hadzihi udhiyatun” dalam hal ini
menurut madzhab Hanafi haram mengkonsumsi dagingnya demikian pula menurut madzhab
Syafi’i dan wajib bagi yang bernadzar untuk mensedekahkan semua dagingnya. Namun,
berdasarkan madzhab Maliki dan Hanbali mengkonsumsinya diperbolehkan.[Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2739
dan 2742 lihat pula Hasyiyah al-Bayjuri juz 2 hal.450]
Kulit Qurban
Menurut kesepakatan para ulama daging qurban tidak boleh dijual.
Sedangkan bagian-bagian yang lain seperti kulit menurut jumhur ulama juga tidak
boleh dijual. Namun, jumhur ulama Tentang membolehkan kulit qurban diambil oleh
orang yang berqurban dan boleh juga dihadiahkan kepada orang lain, tetapi tidak
boleh dijual atau digunakan sebagai upah untuk tukang sembelih. Hal ini didasarkan
atas hadits berikut:
عَن أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
: مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّةٍ فَلا أُضْحِيَّةَ لَهُ
Dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda; Barangsiapa menjual kulit binatang qurbannya maka
tidak ada (pahala) qurban baginya (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)
Imam Abu Hanifah memperbolehkan menjual kulit tetapi tidak untuk
diuangkan, namun harus dirupakan dalam bentuk barang yang bermanfaat.[Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Juz IV/ hal 2741
dan Bidayatul Mujtahid Jilid II/ hal430]
Hakikat Qurban
Hal yang telah disebutkan
di atas pada dasarnya adalah ibadah qurban yang ditilik dari aspek formal atau dzahir
dari ibadah yang sering disebut sebagai syari’at. Setiap ibadah pada dasarnya mengandung
dua aspek yaitu aspek syari’at yaitu berupa ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan
sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diluar
aspek syari’at formal terdapat aspek yang menjadi ruh ibadah yaitu aspek hakikat
dari ibadah itu sendiri. Terhadap hal yang formal/syari’at kita wajib mengikuti
tuntunan Rasulullah. Sedangkan kita dituntut juga mengejar hakikat dari ibadah yang
sebenarnya niat kita yang ikhlas yang mencerminkan ketundukan dan kepasrahan kepada
Allah. Ketundukan dan kepasrahan itulah pada hakikatnya yang akan diterima oleh
Allah. Dalam hal ini Allah berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ
التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat
mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat
mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu
mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Hajj: 36)
Praktik inilah sebenarnya yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim
‘alaihis salam bersama putranya Nabi Ismail ‘alaihis salam sebagaimana dialognya
yang diabadikan dalam Al-Quran.
قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ
مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ
مِنَ الصَّابِرِينَ
Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat
dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia
menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya
Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (al-Shaffat:
102)
Nabiyullah Ibrahim dan Ismail berhasil mengarungi ujian besar
dengan sempurna, maka terujilah ketaqwaan beliau berdua.
إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ(106)وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ
عَظِيمٍ(107)
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan
Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (al-Shaffat: 106-107)
Penutup
Akhirnya semoga Allah
senantiasa memberikan kekuatan pada kita untuk dapat menjalankan ibadah dengan ikhlas
karena-Nya . aamiin.
Maraji’
1. al-Zuhaili, Wahbah,
al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, Damaskus, 2007
2. al-Nawawi, al-Imam
Abi Zakariya Yahya bin Syaraf, Syarh Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Bairut, 2004
3. Sabiq, Sayyid,
Fikih Sunnah (terjemahan), PT Al-Ma’arif, Bandung, 1987
4. Rusyd, Ibnu,
Bidayatul Mujtahid (terjemahan Imam Ghazali Said), Pustakan Amani Jakarta, 1995
5. Ibnu Khalil, ‘Atha`.,
Taysir al-Wushul Ila al-Ushul. Cetakan Ketiga. Darul Ummah, Beirut :. 2000
6. Al-Baijuri, al-Syeikh
Ibrahim, Hasyiyah al-Baijuri ala Syarh Ibn Qasim al-Ghazi, Dar Ibnu ‘Ashhsashah,
Bairut, 2005
Source: http://www.inpasonline.com
Template yang keren mas, tapi aq masih trauma dg buatan mas kholis.. hehehe...
BalasHapusiy mas, aku jg lg cari2 template lg og..
BalasHapus